Malam ini ditemani lagu Fiersa
besari, Celengan Rindu… Mau lanjutin cerita Arvan dan Vemia yang sempat
menghilang hampir satu bulan. Oke ga perlu prolog yang panjang, kita mulai saja
guys..
Cekidot….
Ini episode paling sedih menurut aku saat Arvan melawan maut dan merubah hidupnya lebih baik dari sebelumnya. Sulit memang menceritakan detailnya karena pihak yang terkait sudah sama-sama hidup bahagia dengan kehidupan barunya. Tapi sangat menarik untuk ditulis disini.
24 September 2015….
Setelah bertarung dengan maut, akhirnya Arvan kembali hidup normal. Hal ini bukan karena Arvan orang hebat, tapi karena Allah yang masih mengizinkannya membuka mata dan menjalani hidup seperti biasanya untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Satu peringatan besar, untuk seorang Arvan yang susah diatur dan selalu bertindak semaunya sendiri. Dia sering lupa ada do’a orangtua yang sangat penting untuk dia. Saat aku tidak mampu mengingatkannya lagi, peringatan itu datang langsung dari Allah. Sampai-sampai apa yang terjadi saat itu tidak bisa aku percaya bisa terjadi padanya.
Baru saja hari minggu aku bertemu
dengannya, bercerita tentang apa yang dia lakukan semalam dengan komunitas
motornya. Begitu asyik dia menceritakan acara prospek saat itu. Kemudian hari
selasa tepatnya tanggal 22 september 2015 dia mengirimkan pesan untukku.
“Vem, nanti Iedul Adha aku mau ke Santolo ah, malem takbir berangkatnya” Laporan disampaikan kepadaku.
“Ke Santolo lagi Van? Sama siapa?”
“Sama temen-temen kerja, banyakan da” jawab Arvan.
Hmm aku berfikir kenapa harus ke Santolo lagi dan lagi?
Kenapa dia tidak memilih berlebaran bersama keluarga saja di rumah.
Aku sangat mengenal orangtuanya, mereka sangat menyayangi anaknya yang hobby sekali pergi sesuka hatinya. Aku sedikit membantahnya agar dia tidak perlu ikut, biar lain kali saja dia berangkat ke Santolo, tapi apalah daya namanya juga Arvan kalo udah niat ya gak akan bisa dibantah sama siapapun.
“Van, udahlah ga perlu ikut dulu ke Santolo,, baru kemarin minggu lho kamu main sama temen-temen JMC mondok pula. Nanti mamah ngomel-ngomel lagi” usahaku merayu dia agar tidak pergi.
“Ga akan diomelin ko Vem, InsyaAllah” jawabnya tidak menggubris apa yang aku maksud dan mencoba meyakinkan semua akan baik-baik saja.
Baiklah, aku tidak bisa melarangnya lagi, aku hanya bisa mendo’akan dia agar selalu selamat kemanapun dan dengan siapapun dia pergi. Aku hanya tidak ingin terjadi konflik antara mamah dan Arvan karena kejadian ini. Aku hanya berfikir, kenapa dia harus berangkat padahal masih banyak tanggal-tanggal merah selain lebaran yang bisa digunakan untuk berlibur bersama teman-temannya.
Jujur saja hatiku tidak ingin dia pergi, aku ingin dia mendengarkanku, tapi itu semua tidak pernah dia anggap dengan baik. Cukup iya, iya, tapi tetap tidak berpengaruh pada rencananya. Sulit sekali kalo Arvan sudah seperti ini. Aku tidak pernah bisa membujuknya.
Arrgghhhh kenapa kamu keras kepala sekali Arvaaaannn!!!!!
***
“Van, jadi ke Santolo malem ini?” tanyaku sembari berharap dia tidak akan pergi.
“Iya Vem, pulang kerja Aku langsung gas sama temen-temen” katanya.
“Udah bilang sama mamah? Udah prepare?”
“Udah sayaaang” jawabnya singkat.
Sembari siap-siap tidur, aku bergumam sendiri.
Oke dia benar-benar akan pergi, dan sudah mempersiapkan semuanya.
Malam itu aku tertelap. Dan saat
aku tertidur dia pamitan untuk berangkat ke Santolo. Kira-kira pukul 00.03 WIB.
Dia mengirimkan pesan padaku.
“Vem, aku baru keluar, lagi prepare nih”
“Aku OTW ya cantik…”
Meskipun aku tidur dia tetap mengirim pesan sekitar pukul 00.40 WIB. Aku tiba-tiba terbangun tujuh menit setelah dia mengirim pesan tersebut.
“Otw Garut Van? Hati hati di jalannya ya..” aku mencoba membalas pesannya sembari ngantuk. Tapi tak ada jawaban darinya.
Kemudian aku liat statusnya dia menulis.
“Semoga Selamat Sampai Tujuan”
Saat itu hatiku tidak tenang membiarkan dia pergi, tapi apalah daya dia sudah On the way…….
Aku masih berusaha berpositif thinking, sembari berdo’a atas keselamatannya. Meski hatiku gelisah, kenapa dia tidak mengucapkan salam seperti biasanya, kenapa tidak meminta do’a padaku? Hatiku gelisah, namun aku menahan untuk tidak banyak mengirim pesan padanya.
***
Semalaman terdengar suara takbiran. Shubuh tiba, gema takbir itu masih terdengar hangat hingga pagi hari. Yaa… hari ini adalah hari raya Idul Adha tepatnya tangga 24 September 2015.
Aku terlelap sejak dini hari saat aku masih mengkhawatirkannya. Mataku terbangun dan langsung aku mengecek HP menunggu kabar sudah sampai di manakah dia? ternyata tidak ada satu pesanpun yang dia kirim untukku.
“Baiklah, aku tidak akan mengganggunya, semoga dia selamat” hati kecilku sedikit kesal.
Namun tetap saja aku bertanya-tanya dan memperkirakan dia sudah sampai atau belum disana. Aku membayangkan, mengira-ngira, mungkin di sana memang tidak ada signal internet. Lalu aku mencoba mengirim pesan padanya.
SMSku terkirim tapi tidak ada jawaban sama sekali, berkali-kali aku sms mengingatkan dia agar tidak lupa Shalat Ied, namun tetap tidak ada jawaban satupun.
“Mungkin dia tidak ada pulsa, nanti juga ada kabar” hatiku tetap berpositif thinking.
Aku meninggalkan ponselku di kamar, dan berusaha menikmati hari raya dengan penuh suka cita. Meskpun hati ini tetap gelisah menanti kabarnya namun aku tetap berusaha tenang.
Saat aku berkumpul dengan teman-temanku, sekitar pukul 10.30 tiba-tiba mataku terbayang mengingat dia sedang melihat pantai dan dia sedang bermain disana sangat jelas terlintas dimataku.
“Hmm siang ini teh Arvan lagi di pantai kayanya ya, menikmati ombak” dalam hatiku bergumam.
Mungkin dia sudah sampai dan sedang menikmati liburannya. Segeralah aku untuk mengecek ponselku di kamar dan segera kembali berkumpul dengan teman-temanku. Tidak sesuai harapan, tidak ada satupun pesan yang aku terima darinya. Yang ada banyak pesan group kelas yang rame mau ngajakin nyate bareng.
Tiba-tiba sahabatku menuliskan pesan.
“Vemia, nomer masih yang dulu?” Tanya Ita.
“Masih doong” jawabku tanpa berfikir apapun.
“Very minta nomer kamuu” ucapnya melanjutkan pembicaraan.
Aku tidak berfikir Very yang dimaksud adalah Very temannya Arvan, aku malah tidak menghiraukannya. Tidak lama kemudian, panggilan masuk aku terima dengan nomer yang tidak aku kenal.
“Wah, kayanya ini Ita yang nelpon, kayanya mau curhat” sangkaku dalam hati.
Akupun tidak menjawab telpon tersebut karena
ga enak mau angkat telpon di depan teman-temanku. Namun panggilan itu terus
masuk tanpa menyerah dan tanpa henti menelponku dan aku tetap membiarkannya.
Sekitar 20 panggilan tidak terjawab aku tetap membiarkannya, ditambah saat itu aku harus mengantar mamahku membeli sesuatu. Teman-temanpun bubar jelang Dzuhur sekitar pukul 11.50. Dan aku pergi mengantar mamahku.
Saat sampai di tempat tujuan,aku parkirkan motorku sembari melihat Henponku lagi.
“Waaw 20 panggilan, ada apa yaa?” hanya bertanya dalam hati tanpa memikirkan apapun.
Sekilas aku lupa pada Arvan yang sedari shubuh aku tunggu kabarnya. Aku lupa aku sedang menunggu kabarnya. Entah apa yang aku pikirkan saat itu, aku tidak bertanya dan tidak mengirim pesan pada nomer yang sedari tadi mencoba menghubungiku.
Aku mengecek RU di BBM.. ternyata Nita tiba-tiba mengganti DPnya dengan foto Arvan, dan menulis statu.
“Astaghfirrullah Arvan…..”
Hah? Ada apa ini? tanpa fikir panjang aku langsung mengirim pesan pada Nita.
“Nitaaaaa, Arvan kenapa? Ada apa?” Sontak hatiku gelisah tanpa arah, pikiran negative menghantuiku.
Aku tetap Berusaha tenang, mamah pun selesai dengan belanjaannya. Aku lanjut menyetir sembari kembali pulang dan memikirkan ada apa sebenarnya yang terjadi, seribu tanya terlintas di otakku.
Kenapa sampai kalimat Istighfar yang mendampingi foto Arvan distatus
itu? Ada Apa ini?
Tiba dirumah, aku langsung mengecek henpon dan menanyakan apa yang terjadi. Ternyata aku mendapatkan kabar paling buruk dalam hidupku.
“Vemia,, Arvan Kecelakaan…” Nita membalas pesanku dengan singkat.
“Dimanaaaaa? Innalillahi………”
Saat itu aku terkejut sangat terkejut.Gugup, gemetar, sesak, tenggorokanku seakan tertahan dan sakit rasanya membaca pesan mengerikan itu.
Air mataku tidak tertahankan, dada ini seolah tertindih batu besaar yang membuat nafas terasa sempit.
“Innalillahi, kecelakaan diamana?”
“Di Santolo Vem, sekarang belum sadar” Jawab Nita setengah-setengah.
Bagaimana bisa? Apa Arvan tabrakan? Atau kenapa?
Ya Ampuun…… kacau sekali pikiranku, Tidak ada yang menenangkanku, tidak ada yang mampu menjelaskan dengan baik dan benar saat itu. Aku ingin tau, aku harus tau Arvan kenapa. Aku terus bertanya kronologis apa yang terjadi sebenarnya.
Langsung aku hubungi nomer yang berusaha menelponku tadi, dan ternyata benar pemilik nomor itu adalah Very teman kerjanya Arvan, bermaksud memberitahu aku bahwa Arvan kecelakaan.
“Arrrgghhhhhh…… Kenapa sih Van. Aku bilang apaaa jangan kamu pergi malam itu” aku menggerutu sendiri di kamar sambil berusaha mencari informasi yang lebih jelas.
Sungguh……kabar itu sangat menyakitkan bagiku, aku terus bertanya, namun merekapun belum tahu pasti keadaan yang terjadi seperti apa.
Aku tidak bisa pergi ke rumah Arvan, karena suasa Idul Adha masih sangat terasa dan tidak memungkinkan aku untuk pergi kesana. Lagian Arvan di Garut, belum ada kabar apa-apa lagi selain kabar Arvan celaka.
“Sekarang Arvan Gimana? Dibawa ke Rumah sakit?” pesanku kepada Nita.
Oh ya, Nita adalah sepupu Arvan.
“Kecelakaan gimana?” Diperjalanan atau gimana???” lanjut kukirimkan pesan lagi padanya.
Aku kehilangan arah, semua tentangnya langsung terlintas dalam benakku.
Tawanya, ceritanyaa, perlakuan baiknya padaku semua tentang aku dan dia. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi padanya saat itu, aku tidak bisa berpikir bagaimana keadaanyaa saat itu. Aku tidak bisa tenang aku ingin tahu apa kabarnya sekarang, aku ingin dia beri aku pesan bahwa dia baik-baik saja, tapi tidak aku dapatkan semua harapan baik itu.
“Ya Allah……” Aku menangis karena bingung, aku coba terus menghubungi siapapun yang bisa memastikan Arvan baik-baik saja.
Aku tetap berharap itu hanya sebuah kecelakaan kecil, itu hanya cedera biasa tidak terjadi apa-apa, dan terus berdo’a agar dia segera memberiku kabar. Namun hal itu tidak pernah terjadi.
Aku tidak mendapatkan kabar yang lebih baik selain kabar dia sedang dibawa ke Rumah Sakit Kota Garut menuju UGD.
“Arvan lagi perjalanan ke Rumah Sakit Garut karena di Pameungpeuk Cuma ada klinik sementara ini harus dilarikan ke Rumah Sakit”.
Ya Allah… kenapa separah itukah sampai harus segera dibawa ke Rumah Sakit???
***
Sekitar tiga jam aku menunggu kabar terbaru darinya, gelisah dan terus mendo’akannya. Akhirnya aku mendapat kabar bahwa Ayah Arvan segera menyusul ke TKP bersama sepupunya Kang Aras. Katanya mereka langsung berangkat ke Garut untuk melihat keadaan Arvan dan katanya Arvan sudah sampai di UGD RS. Kota Garut namun keadaannya tidak sadarkan diri.
Bisa terbayang kondisiku saat itu? Kabar yang aku dapatkan hanya sesingkat itu.
Tidak sadar bagaimana sih?
Pingsan? Atau apaaaaaaa?????
Mungkin terdengar berlebihan namun itulah yang aku rasakan saat itu.
Aku menyesal tidak menahannya lebih keras untuk tidak pergi, aku menyesal tidak memaksanya lebih keras untuk tidak pergi, dan aku menyesal tidak membuat dia bertahan disini.
Kalian mungkin merasakan hal yang sama jika kalian berada diposisikuu. Mendengar orang yang dicintai mengalami kecelakaan di tempat yang jaraknya jauh entah di mana, dan dikabarkan tidak sadarkan diri.
Selang beberapa jam aku menanti kabar baik dari keluarga Arvan, sambil terus berdo’a agar Arvan baik-baik saja, Arvan segera sadar dan bisa segera dibawa pulang. Hingga akhirnya, kabar baik ku dapatkan. Arvan sudah sadar namun tidak ingat sepenuhnya.
Shubuh aku mengecek henponku ternyata Arvan sudah sampai di rumah, dia dibawa pulang menggunakan ambulans semalam.
Alhamdulillah jika memang sudah di Bandung dan pulang ke rumah.
***
Akupun memarkirkan motor dan bersiap untuk masuk ke dalam.
“Assalamu’alaikum…” ucapku saat masuk ke rumahnya yang masih banyak dikunjungi tetangga dan teman-temannya.
“Wa’alaikumsalam duduk di sini aja, di dalem masih rame” ucap teteh sepupunya.
Belum juga masuk ke kamarnya, belum juga melihat kondisinya, aku tak mampu menahan tangisku sambil ditemani Ayah Arvan. Aku hanya berpikir bagaimana bisa aku terlihat baik-baik saja melihat kondisi dia seperti itu, padahal aku belum melihatnya. Ku atur nafasku, ku tahan tangisku. Lalu mamahnya memanggilku.
“Neng, sini masuk” seru mamah Arvan padaku.
“Iya mah” jawabku sambil bergegas menuju kamarnya.
“Assalamu’alaikum….”
“Wa’alaikumsalam neng, tuh Arvannya juga tidur neng.. dari semalem dateng juga belum bisa banyak nyerita, pusing katanya”, mamahnya mencoba menjelaskan.
Aku melihat dia terbaring ke sebelah kiri, membelakangiku. Menggunakan celana pendek dan baju batik dengan posisi meluruskan kaki dan tangannya yang ternyata penuh dengan luka. Tidak tahan aku melihat dia terbaring lemas seperti itu. Yang aku biasa lihat adalah tawa dan candanya, tingkah lakunya yang tidak bisa diam, ceria dan aahh pokonya hari itu aku merasa tidak mengenalinya.
“Tidak apa-apa kamu tidak bangun dan bertemu denganku, kamu tidur saja istirahat” ucapku dalam hati.
Namun tiba-tiba Arvan terbangun dan membalikkan badannya. Menatapku penuh makna. Tidak terucap apapun namun seolah ingin mengatakan sesuatu. Kepalanya pitak bekas jaitan pertolongan pertama. Mukanya luka-luka. Karena ternyata Arvan mengalami cedera di kepala dan sempat mengalami pendarahan hebat. Itu sebabnya dia sampai tidak sadarkan diri dan harus dibawa ke UGD.
“heeyyyyy…..” sapaku kepadanya.
Dia tersenyum melihatku, akupun mendekat kepadanya.
“Kenapa bangun? Apa yang sakit?” tanyaku padanya sambil menahan tangis.
Dia hanya mampu menggelengkan kepalanya.
“A…kuu… ke…ce…la..kaan” dia berusaha menjelaskan kepadaku bahwa dia mengalami kecelakaan, entah kenapa dia seperti sulit berbicara.
“Kamu teh kenapa atuh? Jatuh dimana?” tanyaku perlahan.
“euuuuu…… jaa…toh…di….garut….” jawabnya terbata-bata, sambil mengerutkan dahi dan senyumnya turun.
“Dari semalem gabisa banyak ditanya neng, belum bisa ngomong lancar. Kadang ga nyambung kalo ditanya pikaseurieun (bikin pengen ketawa)” kata mamahnya.
“Oh gitu mah, kenapa ya? Hilang ingatan?” tanyaku semakin heran.
“Kayanya sedikit neng, tapi beberapa ada yang inget” jawab mamah.
Apa? Hilang ingatan? Padahal aku hanya iseng bertanya seperti itu. Ternyata memang setengah ingatannya hilang. Sulit dipercaya.
Sekeras apa benturan itu sampai membuatnya hilang ingatan?
Aku bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi, kenapa Arvan sampai seperti itu.
“Arvan main ke pantai pake stelan renang bawa motornya ga pake helm, selesai berenang dia mau ke rumah temennya boncengan sama temennya ngebut dan ga sadar ada tikungan, motornya nabrak Arvannya terbang dan masuk ke selokan. Yang mendarat pertama kepalanya, kebentur keras sampe keluar darah banyak, langsung dibawa ke klinik pertolongan pertama jahit kepalanya biar ga keluar darahnya”, mamahnya menjelaskan kronologis kecelakaan itu.
Aku terdiam, menatapnya yang sedang menatapku juga. Jangan-jangan dia tidak mengingatku..?
“Arvan ini siapa? Tanya mamahnya menunjuk padaku.
Dia menatapku dengan tatapan yang tidak bisa ku artikan, dan berkata
“Vemia...” jawabnya dengan susah payah.
“Vemia teh siapanya Arvan?” sambung lagi mamahnya.
“Ka..bo…goh.. (Pacar maksudnya)” disambung dengan senyuman sambil menatapku.
“Hahahahaha….” Reflex aku dan mamahnya tertawa. Tertawa dalam kegelisahan tak menentu rasanya.
Ya Allah ternyata dia inget aku, nama aku siapa dia tetap inget. Aku terharu.
“Van, harus kuat yaa! Cepet sembuhh….” Sambil tersenyum menghiburnya.
Dia hanya mengangguk dan tersenyum.
“Pusing? Mau tidur aja?” tanyaku.
Dia hanya mampu menggelengkan kepala tanda dia tidak ingin tidur.
Sesekali matanya menatap ke atas,
menatap semua sudut ruangan, seakan bingung dan berpikir keras tentang apa yang
terjadi pada dirinya sendiri. Seperti tidak menemukan dirinya sendiri, seperti
orang lain.
Sebelum tidur lagi dia ingin makan, dan ingin aku yang menyuapinya. Dengan senang hati aku sauapi dia. Senang rasanya dia bisa tersenyum sambil mengunyah dia terus menatapku sangat dalam.
“Ma..u tidur” pamit apadaku terbata-bata.
“Iya sok tidurin aja” jawabku
dengan pelan.
Dia mengangguk dan langsung memejamkan matanya tanpa pikir panjang. Mungkin dia pusing.
Jahitan di kepala kirinya cukup panjang, namun tidak beraturan. Tangan dan kakinya penuh luka yang masih basah. Aku hanya bisa berdo’a agar tidak terjadi apa-apa pada kepalanya.
Hari sudah sore, aku cukup tenang bisa melihat dan menemani dia hari ini. Katanya nanti malem mau dibawa ke klinik buat rontgen kepalanya. Aku meminta mamahnya selalu memberikan aku kabar apapun yang terjadi.
***
Aku berangkat kuliah pagi seperti biasanya. Pesan masuk aku terima saat aku keluar kelas.
“Neng,
Arvan masuk Rumah Sakit” Sms dari mamahnya Arvan.
“Rumah
Sakit mana mah? Gimana hasil foto kepalanya? Tanyaku.
“Al
Islam, Arvan harus di operasi neng”.
“Ko
bisa mah?”.
“Neng
nanti kesini ya”. Pinta mamahnya Arvan.
Aku termenung, kenapa harus
dioperasi? Kemarin Arvan baik-baik saja. Hanya susah bicara. Baiklah aku
harus ke Rumah Sakit sekarang.
Sesampainya di Rumah Sakit, aku disambut mamahnya Arvan. Dia menghampiriku dan memelukku sambil menangis. Aku bingung. Ada apa ini? Kenapa begini?
“Mah ada apa?” heran sekali aku melihat mamah Arvan bersikap seperti terpukul sekali dengan keadaan.
“Arvan neng, harus dioperasi”. Jawabnya sambik menangis.
“Tapi kenapa? Gimana hasilnya?”
“Tempurung kepala Arvan retak, dan retakannya bisa menggores-gores ke otaknya. Kalau dibiarkan Otak Arvan bisa robek dan pecah akbiat gesekan dari retakan itu” Mamah Arvan menjelaskan padaku.
Aku tidak percaya ini terjadi padanya. Ya ampun Arvan kenapa harus sampai seperti ini.
“Terus sekarang gimana?” Tanyaku.
“Harus ada uang 20 juta untuk operasi, kalau ada uang malam ini Arvan bisa secepatnya dapet jadwal operasi” jawab mamahnya.
“Ga ada jalan lain selain operasi?”.
“Ga ada neng, tempurung otak yang retak harus diangkat. Kalau engga otaknya akan robek. Tapi resiko operasi otak itu rentan” lanjut mamah Arvan sambil kembali menangis.
Bagaimana tidak, otak yang menjadi fungsi utama dalam tubuh ini terganggu dan menjadikannya setengah menjadi orang lain. Operasi tulang kepala itu kalau ga berhasil bisa menyebabkan… ga sanggup nulisnya.. tapi harus ditulis, bisa menyebabkan kematian.
Aku tidak bisa membayangkan, akan kehilangan seorang Arvan hari itu. Aku berdo’a semoga apapun yang terjadi itu yang terbaik. Dan aku harap Allah masih memberikan kesempatan Arvan untuk hidup.
Setelah perbincangan itu, aku temui Arvan di ruangan. Sementara mamah Arvan pamit pulang dulu karena ada yang harus dibawa keperluan menginap di Rumah Sakit.
Kamu tau ga? Perasaan aku ga karuan.
Aku harus tetap kuat untuk menguatkan Arvan. Karena semua keluargnya
berharap aku bisa jadi penyemangat yang sangat berpengaruh untuk Arvan agar
bisa bertahan dan melanjutkan hidup.
Saat itu, aku berusaha melakukan yang terbaik. Menemani Arvan di Rumah Sakit saat aku memiliki waktu luang ditengah kesibukan kuliahku. Tidak banyak perbincangan, aku hanya bisa menyuapi dia saat dia harus tetap makan, dan membimbingnya shalat.
“Arvan…” aku menyapanya saat melihat dia terus menatap atap ruangan Rumah Sakit seakan bingung dengan dirinya sendiri.
Dia melihat padaku, tanpa berkata-kata.
“Arvan inget sama aku?”
Dia mengangguk.
"Arvan susah ya mau bilang sesuatu?”
Dia mengangguk lagi, sambil sesekali memejamkan matanya karena pusing kepalanya seperti sangat mengganggunya.
“Arvan tidur aja, aku tungguin
disini”
Dia menggelengkan kepala.
“Arvan.. inget sama Allah?”
Dia mengangguk lagi.
“Arvan masih inget gerakan sama bacaan shalat?”
Dia bingung, matanya berputar seperti berusaha berpikir. Lalu dia menggelengkan kepalanya sambil meneteskan air mata. Aku membaca gerakan itu sebagai pertanda dia tidak bisa mengingat gerakan dan bacaan shalat yang aku tanyakan.
“Hey, jangan nangis… Arvan mau shalat sekarang? Ini udah dzuhur” tanyaku padanya menawarkan.
“Maaa…uuuu…” akhirnya dia mampu bersuara.
Aku berpikir saat itu, apakah Arvan masih wajib shalat? Sementara ingatannya sedang tidak baik. Shalat itukan harus dilakukan dengan penuh kesadaran. Baiklah aku akan tetap menuntunnya melaksanakan shalat.
Karena Arvan tidak bisa bangun dan hanya mampu terbaring, aku menuntunnya untuk tayamum. Aku tidak tau apakah yang aku lakukan sudah benar atau tidak, karena keterbatasan ilmu yang aku punya. Aku hanya berusaha semampuku, sepengetahuanku saja. Setelah tayamum
“Kamu shalatnya sambil tiduran aja ya Van, sambil bayangin gerakan shalatnya tiap rakaatnya” usahaku memberikan intruksi pelan-pelan.
Dia mengangguk.
“Nanti kamu baca do’a-do’anya dikerasin aja, biar kalo kamu lupa dan salah aku benerin”.
Dia mengangguk lagi.
“Dua rakaat aja, sok mulai takbir dulu”.
“A….llaah…hu..akbaar…” ucapnya memulai shalat. Dengan usaha yang cukup keras, mengucap dan mengingat bacaan shalat ia terus melanjutkan shalatnya sampai rakaat terakhir. Sesekali lupa, aku coba membantunya. Sampai Arvan selesai mengucapkan salam, aku terus disampingnya. Terharu dia bisa menyelesaikannya dalam keadaan yang sedang tidak sehat.
“Berdo’a dulu Van”
Dia mengangkat kedua tangannya dan mengerutkan halisnya menggambarkan sedang memanjatkan kalimat do’a yang sungguh-sungguh.
“Kamu cepet sembuh ya Van…”
Dia tersenyum dan meminta aku mengambilkan minum dengan kode tangan yang menunjuk air minum.
Setelah ikhtiar mencari dana untuk operasi, Alhamdulillah akhirnya Allah mudahkan. Arvan sudah bisa mendapatkan jadwal operasi. Katanya hari senin dia operasi, jam 19.00.
“Be..sok… Aku dipresi” kata Arvan berusaha memberitahu aku.
“Apa? Kamu depresi kenapa?” tanyaku heran.
“buu…kan… euuh….. o..pe..ra..si…” katanya mengulang.
“Oh…. Besok kamu mau di operasi?”
“he….eeeh… u..dah..ga..sa..baar…” katanya.
“Alhamdulillah, kamu semangat ya pengen cepet-cepet dioperasi, ga takut kan? Semangatkan?” jawabku sambil menyemangati dia.
“i…yaaah…”
“Semoga lancar, jangan lupa kamu terus do’a ya. Aku juga do’ain kamu”
“i…yah…”
“Ga aku temenin ga apa-apa ya? Aku do’ain kamu di rumah”
“i…yaah..”
“Yaudah, aku pulang ya Van.. kamu terus berdo’a, obatnya jangan lupa, infusnya jangan dilepas ya, makannya harus habis biar kuaaaaaatttttt” sambil ngangkat kedua tangan memberi semangat.
“hehehehehe…” dia hanya tersenyum…
Aku pulang, Arvan ditemani mamahnya lagi. Saat keluar dari ruangan. Seketika aku ingin menangis. Rasanya hancur melihat Arvan selemah itu. Aku rindu Arvan yang dulu, ini bukan Arvan.
Aku berjalan menuju lift, dan menumpahkan air mata disana sendirian. Tidak tahu harus bagaimana, yang pasti aku harus tetap kuat dan terus berdo’a untuk kesembuhan Arvan.
***
“Mah, gimana Arvan?” satu pesan ku kirimkan pada nomer simpati milik mamahnya Arvan.
“InsyaAllah jam 19.00 Arvan masuk ruang operasi, do’ain terus Arvan ya neng.”
“Iya mah, Vemia do’ain dari sini. Maaf Vemia ga bisa nemenin di sana”
“Iya ga apa-apa neng, jaga kesehatan ya”
Tik tok tik tok…… detik jarum jam terus berganti. Selepas Shalat maghrib rasanya lama sekali menuju Isya. Aku tetap pada posisi dudukku diatas sejadah. Aku siapkan buku do’a dan Al-qur’an untuk berdo’a sepanjang Arvan Operasi. Akhirnya satu pesan aku terima kembali.
“Neng, Arvan sudah masuk ruag operasi”. Kata mamahnya.
“Bismillah ya mah, semoga dilancarkan dan dikasih yang terbaik. Kabari Vemia kalau Arvan sudah keluar ruang operasi”. Kataku.
Adzan Isya berkumandang… setelah shalat Isya, ku mulai berdo’a untuk keselamatan Arvan. Selama operasi dilakukan, do’aku terus bersambung. Tidak terasa sekitar satu jam setengah aku melakukannya. Penasaran, apa belum selesai ya operasinya? Karena perkiraannya katanya operasinya itu sekitar 60 menitan.
Akhirnya satu jam kemudian aku mendapat kabar, bahwa operasi sudah selesai dan lancar. Namun Arvan masih belum sadarkan diri.
Alhamdulillah, semoga semakin membaik dan baik-baik saja.
Keesokan harinya karena tidak ada jadwal kuliah, aku pergi ke Rumah Sakit untuk menemui Arvan yang baru selesai operasi. Aku bawakan agar-agar kesukaannya. Sebenarnya dia tidak suka agar-agar, tapi semenjak kecelakaan tidak banyak yang bisa dia makan jadi agar-agar inilah yang menjadi menu cemilan andalannya.
Rasanya campur aduk hari itu. Antara bahagia dan khawatir, takut sekali jika masih ada sesuatu yang belum selesai dari operasi semalam. Tapi aku percaya Allah akan selalu memberikan yang terbaik untuk Arvan. Dengan kuasa Allah, keajaiban itu Arvan dapatkan. Arvan mendapat kesempatan hidup lagi dan normal sampai sekarang.
Katanya, operasi otak itu kemungkinan berhasilnya 50% dengan kemungkinan gagalnya. Dan efeknya bisa jadi ada anggota tubuh yang cacat. Tapi seperti yang tadi ku bilang, keajaiban itu Allah berikan untuk Arvan. Tidak ada satupun yang cacat darinya kecuali satu kotak tempurung kepalanya yang sudah tidak lagi terpasang. Ini membuat Arvan libur futsal selama satu tahun. Padahal futsal adalah olahraga paling favoritnya.
Tidak apa-apa Arvan, yang penting kamu bisa sembuh!
Selepas operasi, dia masih kesulitan untuk berbicara. Namun perlahan ingatannya mulai pulih. Katanya selepas operasi semua hidupnya serasa sudah kembali. Namun dia tidak mampu mengingat kejadian apa yang terjadi saat sebelum operasi. Tapi dia tau persis, aku tidak pernah meninggalkannya saat dia kehilangan setengah dirinya sendiri.
Arvan mulai bisa menggunakan henponnya lagi. Meski masih harus banyak belajar untuk merangkai kata kembali, dia selalu berusaha untuk mengirimkan pesan untukku setiap malam. Tapi kata-katanya ga pernah nyambung. Hahahaha. Bagian ini aku baru bisa tertawa. Bagaimana bisa, menyebut kemarin dan besok saja dia tidak bisa membedakannya. Kalo bahasa sundanya sih ‘pabeulit’.
Sampai suatu hari dia mengirimkan pesan padaku.
“Vem, ajarkeun abi bahasa Indonesia”. Pesannya sedikit aneh
.
“Emang jadi ga bisa bahasa Indonesia?”
“Emang jadi ga bisa bahasa Indonesia?”
“Hehehe… hese Vem..” jawabnya
lagi.
“Hahaha oke Van, nanti kita belajar ngomong lagi ya”
“Ok” dia jawab singkat.
Selain masih sulit berbicara, Arvan juga sulit untuk berjalan. Karena terlalu lama berbaring, kakinya jadi kaku seperti orang lumpuh tak mampu menyentuh tanah dengan kokoh.
Aku temani Arvan selama proses penyembuhan. Sampai dia bisa berjalan kembali dengan normal dan bisa berbicara seperti dulu lagi. Alhamdulillah Arvan kamu harus banyak bersyukur untuk hidupmu. Peringatan itu harus kamu ambil banyak pelajaran dan hikmahnya.
Do’a orangtua adalah yang paling utama. Karena Ridho Allah ada di dalamnya. Setiap peringatan harus diperhatikan, jangan sampai Allah yang turun langsung kasih peringatan yang luar biasa untuk menyadarkan kita menjadi lebih baik.
Semenjak itu, banyak yang berubah dari seorang Arvan. Ngeyelnya sedikit berkurang. Izin orangtua menjadi modal utama yang harus dia pegang. Kebaikannya kepada orang lain semakin terasa, hingga banyak orang yang akhirnya menyayanginya dan peduli akan hidupnya. Bukan hanya aku.
Tugasku sudah selesai. Aku dihadirkan hanya untuk menemaninya memperjuangkan hidup tapi bukan untuk hidup bersamanya.
Setelah sehat dan menjalani hidup seperti biasanya, banyak hal yang membuat aku dan Arvan tidak bisa lagi bersama. Walau itu bukan hal yang kita inginkan, namun Allah ingin kita bisa sama-sama menerima yang harus terjadi adalah aku dan Arvan telah memiliki jalan hidup masing-masing.
Terima kasih Arvan. Terima kasih sudah hadir dan mampir memberikan pelajaran. Walau aku yang menemani kamu belajar berjalan tapi kamu malah berlari dengan orang lain. Tapi aku baik-baik saja hari ini. Aku bersyukur pernah melakukan yang terbaik pada posisiku saat itu.
Semoga kamu selalu mampu mengambil pelajaran dari apa yang pernah terjadi dalam hidupmu. Jangan pernah melihat aku lagi. Masa depanmu sudah jelas bukan aku. Aku hanya masa lalu. Aku mohon jangan pernah melihatku lagi.
-Silvia Zakiah Itsnaini-
Baiklah jika itu mau.mu 🙏:(
BalasHapusSiap motivatorku . 🙏
BalasHapusSee you ya .